Thursday, 28 February 2013

Tenaga Pembentuk Muka Bumi

1. Tenaga Endogen

Tenaga endogen adalah tenaga yang berasal dari dalam bumi yang menyebabkan perubahan pada kulit bumi. Tenaga endogen ini sifatnya membentuk permukaan bumi menjadi tidak rata. Mungkin saja di suatu daerah dulunya permukaan bumi rata (datar) tetapi akibat tenaga endogen ini berubah menjadi gunung, bukit atau pegunungan. Pada bagian lain permukaan bumi turun menjadikan adanya lembah atau jurang. Tenaga tersebut dapat dibedakan berdasarkan penyebab menjadi tenaga tektonik (diastropisme), vulkanik (vulkanisme) dan gempa (seisme).

A. Diastropisme
Diastropisme adalah tenaga yang bekerja dari dalam bumi yang mengakibatkan pergeseran dan perubahan posisi lapisan batuan sehingga mengubah bentuk muka bumi. Gerakan tersebut dapat dibedakan menjadi gerakan epirogenesis dan orogenesis

Epirogenesis adalah pengangkatan jalur kerak bumi sehingga membentuk pengunungan yang berlangsung sangat lambat dan meliputi daerah yang sangat luas. 

Orogenesis adalah proses pembentukan pegunungan (mountain building) atau pengangkatan kerak bumi karena tumbukan lempeng. Proses tersebut menghasilkan pengunungan. Misalnya Pengunungan Hilmalaya. Jadi, gunung api tidak termasuk orogenesis karena tenaga yang membentuknya adalah tenaga vulkanisme bukan diastropisme.

B. Vulkanisme

Vulkanisme adalah segala kegiatan magma dari lapisan dalam litosfer menyusup ke lapisan yang lebih atas atau sampai keluar permukaan bumi. Aktivitas tersebut menghasilkan bentukan berupa kerucut atau kubah yang berdiri sendiri yang disebut gunung api.

Gunung Api terbentuk karena
pertemuan dua lempeng.

C. Faktor Penyebab Terjadinya Gempa
Gempa merupakan getaran yang terjadi karena gerakan batuan yang melewati batas kelentingan atau kelengkungan. Jika batas kelentingan tersebut melampaui maka akan menghasilkan sebuat getaran. 

Gempa dibedakan menjadi gempa tektonik, vulkanik, dan longsoran. Gempa Tektonik adalah gempa yang terjadi akibat tumbukan lempeng-lempeng litosfer. Gempa vulkanik adalah gempa yang terjadi karena adanya aktivitas gunungapi. Gempa longsoran adalah gempa yang terjadi akibat longsor atau runtuhnya tanah perbukitan atau gua kapur. 

Besar kecilnya kekuatan getaran gempa diukur dengan menggunakan alat yang disebut seismograf. Kekuatan gempa dapat ditentukan dengan menggunakan Skala Ritcher. 

2. Tenaga Eksogen

Tenaga eksogen yaitu tenaga yang berasal dari luar bumi. Sifat umum tenaga eksogen adalah merombak bentuk permukaan bumi yang dipengaruhi oleh tiga proses, yaitu pelapukan, erosi, dan sedimentasi.


A. Proses Pelapukan
Batuan yang telah terbentuk melalui berbagai proses akhirnya lama kelamaan akan mengalami proses penghancuran atau pelapukan. Batuan yang berukuran besar akan terpecah menjadi batuan yang berukuran lebih kecil, bahkan sampai menjadi debu. Pelapukan  dapat dibedakan menjadi pelapukan fisika, kimia dan biologik-mekanik. 

Pelapukan fisika atau disebut pula desintegrasi adalah proses penghancuran batuan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil tanpa mengubah dekomposisi atau susunan kimiawinya. Proses ini bisa terjadi karena penyinaran matahari, perubahan suhu, dan pembekuan air pada celah-celah batuan.
Batuan yang pecah karena proses pemanasan dan perubahan suhu.

Pelapukan Kimia atau disebut pula dekomposisi adalah proses penghancuran batuan dengan mengubah susunan kimiawi batuan yang terlapukan. Berlangsungnya proses tersebut memelukan. Contohnya, tercampurnya batu oleh limbah pabrik yang mengandung bahan kimia.
Pelapukan Kimia pada Batuan.

Pelapukan biologik-mekanik atau organik adalah pelapukan yang disebabkan oleh makhluk hidup, baik tumbuhan maupun binatang. Akar-akar yang masuk ke dalam tanah memiliki kekuatan yang sangat tinggi, sehingga dapat menghancurkan batuan.

B. Proses Erosi
Erosi adalah suatu proses penghancuran tanah dan kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, es, angin, dan gravitasi.
Erosi oleh air hujan membentuk parit.

Batuan yang tererosi oleh angin.

C. Proses Sedimentasi
Sedimentasi adalah proses pengendapan materi-materi hasil erosi yang dibawa oleh tenaga pengangkut seperti air, angin, gelombang laut, dan glester. 

 Sumber : http://ilmu-modern.blogspot.com/2012/03/proses-pembentukan-muka-bumi.html
 

Monday, 25 February 2013

Batuan Kulit Bumi

Batuan kulit bumi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :

1)       Batuan Beku.
Batuan beku adalah batuan yang terbentuk dari magma pijar yang mendingin menjadi padat. Berdasarkan tempat pendinginannya ada 3 macam batuan beku, yaitu :

a)       Batuan Beku Dalam.
Batuan ini disebut juga batuan beku plutonis (batuan beku abyssis), terjadinya jauh di bawah permukaan bumi, berasal dari magma yang mendingin. Pendinginan sangat lambat, sehingga berlangsungnya proses kristalisasi sangat leluasa. Oleh karena itu, batuan beku dalam terdiri atas kristal-kristal penuh, mempunyai struktur (susunan) holokristalin atau granitis. Contohnya : batu garanit, diorite, gabro dan seynit.

b)       Batuan Korok.
Batuan ini terbentuk di dalam korok2 atau gang2 di dalam kulit bumi. Karena tempatnya dekat permukaan, pendinginannya lebih cepat. Itulah sebabnya batuan ini terdiri dari Kristal besar, Kristal kecil, dan bahkan ada yang tidak mengkristal, yaitu bahan amorf. Contohnya : granit porfir dan diorite porfirit.

c)     Batuan Leleran/Beku Luar.
Batuan ini terbentuknya di luar kulit bumi, sehingga turunnya temperatur cepat sekali. Zat2 dari magma hanya dapat membentuk kristal2 kecil, dan sebagian ada yang sama sekali tidak dapat mengkristal. Contohnya : liparit dan batu apung.

 2)       Batuan Sedimen atau Batuan Endapan.
Bila batuan beku lapuk, bagian2nya yang lepas mudah diangkut oleh air, angin, atau es dan diendapkan di tempat lain. Batuan yang mengendap ini disebut batuan sedimen. Batuan ini mula2 lunak, tetapi lama-kelamaan menjadi keras karena proses pembatuan.

Dilihat dari perantaranya batuan sedimen dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
a. Batuan Sedimen Aeris atau Aeolis.
Pengangkut batuan ini adalah angin, contohnya : tanah los, tanah turf, dan tanah pasir di gurun.

b. Batuan Sedimen Glasial.
Pengangkutan batuan ini adalah es. Contohnya : moraine (moraine).

c. Batuan Sedimen Aquatis.
Pegangkutan batuan ini adalah air. Contohnya :
  • Breksi (Brecci) adalah batuan sedimen yang terdiri dari batu2an yang bersudut tajam yang sudah melekat satu sama lain.
  • Konglomerat adalah batuan sedimen yang terdiri dari batu2an yang bulat2 yang sudah melekat satu dengan yang lainnya.
  • Batu Pasir adalah batuan sedimen yang berbutir-butir dan melekat satu sama lain.
        Dilihat dari tempat pengendapannya ada 3 macam batuan sedimen, yaitu :
  1. Batuan Sedimen Lakustre adalah batuan sedimen yang diendapkan di danau. Contohnya : turf danau, tanah liat danau. 
  2. Batuan Sedimen Kontinental adalah batuan batuan sedimen yang diendapkan di daratan. Contohnya : tanah los, tanah gurun pasir. 
  3. Batuan Sedimen Marine adalah batuan sedimen yang diendapkan di laut. Contohnya : lumpur biru di pantai, endapan radiolarian di laut dalam dan lumpur merah.

3)       Batuan Metamorf (Batuan Malihan).
Batuan ini merupakan batuan yang telah mengalami perubahan yang dahsyat secara kimiawi. Asalnya dapat dari batuan beku atau batuan sedimen.

Batuan metamorf dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :

a. Batuan Metamorf Kontak
Batuan ini terjadi akibat suhu yang sangat tinggi. Biasanya terletak dekat dengan dapur magma. Contohnya : marmer, dan batu bara.

b. Batuan Metamorf Dynamo.
Batuan ini terjadi karena tekanan yang tinggi dan dalam waktu yang lama, disebut juga metamorf kinetis. Contohnya: batu asbak, antrasit, schist dan shale.

c. Batuan Metamorf Pneumatolitis Kontak.
Terjadi karena pengaruh suhu yang tinggi dan mendapat tambahan gas lain pada waktu terbentuknya batuan tersebut. Contohnya, batu permata dan topas.






 Sumber :

http://belajargeodenganhendri.wordpress.com/2011/04/14/litosfer-pedosfer/



Sunday, 24 February 2013

Konservasi Tanah



A.  Pengertian Konservasi Tanah

Konservasi tanah adalah penempatan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah.
 Konservasi tanah dilihat hanya sebagai kontrol terhadap kerusakan akibat erosi dan memelihara kesuburan tanah (Lundgren dan Nair, 1985: Young, 1989).

Pemakaian istilah konservasi tanah sering diikuti dengan istilah konservasi air. Meskipun keduanya berbeda tetapi saling terkait. Ketika mempelajari masalah konservasi sering menggunakan kedua sudut pandang ilmu konservasi tanah dan konservasi air. Secara umum, tujuan konservasi tanah adalah meningkatkan produktivitas lahan secara maksimal, memperbaiki lahan yang rusak/kritis, dan melakukan upaya pencegahan kerusakan tanah akibat erosi.

Sasaran konservasi tanah meliputi keseluruhan sumber daya lahan, yang mencakup kelestarian produktivitas tanah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendukung keseimbangan ekosistem.

Penelitian tentang konservasi tanah telah dirintis sejak zaman Belanda tahun 1911, tetapi baru mulai berkembang pada tahun 1970-an, dengan berdirinya Bagian Konservasi Tanah dan Air, Lembaga Penelitian Tanah, Bogor (sekarang menjadi Kelompok Peneliti Konservasi Tanah dan Pengelolaan Air, Balai Penelitian Tanah).

Penelitian-penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui proses erosi mulai dari pengelupasan tanah, pengangkutan sampai pengendapan material terangkut beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya serta akibat yang ditimbulkannya. Selanjutnya dilakukan pula penelitian dasar tentang teknik-teknik pencegahan erosi. Lahan-lahan yang diteliti sebagian besar berupa lahan dengan sifat tanah yang buruk (agregat yang tidak stabil, aerasi buruk, permeabilitas rendah dan infiltrasi tanah rendah, serta hara tersedia bagi tanaman rendah) dan lahan dengan kemiringan yang curam yang rawan terhadap erosi. Lahan dengan bentuk dan sifat tanah seperti di atas mendominasi keberadaan lahan kritis di Indonesia.

Umumnya, hasil-hasil penelitian yang telah dicapai mampu memberikan informasi praktis dalam perencanaan teknik konservasi tanah walaupun masih harus disempurnakan, karena sebagian besar teknologi konservasi dihasilkan dari penelitian pada skala petak kecil.

Konservasi tanah harus mempertimbangkan metode teknik, mekanik, dan penentuan tanaman agroforestri yang sesuai. Hal tersebut akan dibahas selanjutnya.



B.   Metode Konservasi Tanah

Teknik konservasi tanah di Indonesia diarahkan pada tiga prinsip utama yaitu perlindungan permukaan tanah terhadap pukulan butirbutir hujan, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah seperti pemberian bahan organik atau dengan cara meningkatkan penyimpanan air, dan mengurangi laju aliran permukaan sehingga menghambat material tanah dan hara terhanyut (Agus et al., 1999).

Manusia mempunyai keterbatasan dalam mengendalikan erosi sehingga perlu ditetapkan kriteria tertentu yang diperlukan dalam tindakan konservasi tanah. Salah satu pertimbangan yang harus disertakan dalam merancang teknik konservasi tanah adalah nilai batas erosi yang masih dapat diabaikan (tolerable soil loss).

Jika besarnya erosi pada tanah dengan sifat-sifat tersebut lebih besar daripada angka erosi yang masih dapat diabaikan, maka tindakan konservasi sangat diperlukan. Ketiga teknik konservasi tanah secara vegetatif, mekanis dan kimia pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama yaitu mengendalikan laju erosi, namun efektifitas, persyaratan dan kelayakan untuk diterapkan sangat berbeda. Oleh karena itu pemilihan teknik konservasi yang tepat sangat diperlukan.



1.        Metode Vegetatif

Teknik konservasi tanah secara vegetatif adalah setiap pemanfaatan tanaman/vegetasi maupun sisa-sisa tanaman sebagai media pelindung tanah dari erosi, penghambat laju aliran permukaan, peningkatan kandungan lengas tanah, serta perbaikan sifat-sifat tanah, baik sifat fisik, kimia maupun biologi.

Tanaman ataupun sisa-sisa tanaman berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap daya pukulan butir air hujan maupun terhadap daya angkut air aliran permukaan (runoff), serta meningkatkan peresapan air ke dalam tanah.

Teknik konservasi tanah secara vegetatif yang akan diuraikan dalam makalah ini adalah: penghutanan kembali (reforestation), wanatani (agroforestry) termasuk didalamnya adalah pertanaman lorong (alley cropping), pertanaman menurut strip (strip cropping), strip rumput (grass strip), barisan sisa tanaman, tanaman penutup tanah (cover crop), penerapan pola tanam termasuk di dalamnya adalah pergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari (intercropping), dan tumpang gilir (relay cropping).

Dalam penerapannya, petani biasanya memodifikasi sendiri teknik-teknik tersebut sesuai dengan keinginan dan lingkungan agroekosistemnya sehingga teknik konservasi ini akan terus berkembang di lapangan. Keuntungan yang didapat dari system vegetatif ini adalah kemudahan dalam penerapannya, membantu melestarikan lingkungan, mencegah erosi dan menahan aliran permukaan, dapat memperbaiki sifat tanah dari pengembalian bahan organik tanaman, serta meningkatkan nilai tambah bagi petani dari hasil sampingan tanaman konservasi tersebut.



a.      Penghutanan kembali ( Reforestation )

Penghutanan kembali (reforestation) secara umum dimaksudkan untuk mengembalikan dan memperbaiki kondisi ekologi dan hidrologi suatu wilayah dengan tanaman pohon-pohonan. Penghutanan kembali juga berpotensi untuk peningkatan kadar bahan organic tanah dari serasah yang jauh di permukaan tanah dan sangat mendukung kesuburan tanah. Penghutanan kembali biasanya dilakukan pada lahan-lahan kritis yang diakibatkan oleh bencana alam misalnya kebakaran, erosi, abrasi, tanah longsor, dan aktivitas manusia seperti pertambangan, perladangan berpindah, dan penebangan hutan.

Hutan mempunyai fungsi tata air yang unik karena mampu menyimpan air dan meredam debit air pada saat musim penghujan dan menyediakan air secara terkendali pada saat musim kemarau (sponge effect). Penghutanan kembali dengan maksud untuk mengembalikan fungsi tata air, efektif dilakukan pada lahan dengan kedalaman tanah kurang 3 m. 
Penelitian tentang kondisi biofisik lahan sangat penting untuk menentukan jenis tanaman yang akan dipergunakan dengan tujuan penghutanan kembali terutama untuk hutan monokultur. Beberapa tanaman tahunan mempunyai intersepsi dan evaporasi yang tinggi sehingga akan banyak mengkonsumsi air. Penelitian terhadap tanaman pinus (Pinus merkusii) yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada/UGM, Institut Pertanian Bogor/IPB dan Universitas Brawijaya/Unibraw (Priyono dan Siswamartana, 2002), menyimpulkan bahwa tanaman pinus akan aman jika ditanam pada daerah yang mempunyai curah hujan di atas 2.000 mm/tahun. Pada daerah yang mempunyai curah hujan 1.500-2.000 mm/tahun disarankan agar penanaman pinus dicampur dengan tanaman lain yang mempunyai intersepsi dan evaporasi lebih rendah misalnya Puspa atau Agatis.

Sedangkan untuk daerah yang mempunyai curah hujan 1.500 mm/tahun atau kurang disarankan untuk tidak menanam pinus karena akan menimbulkan kekurangan (deficit) air.



b.      Wanatani ( Agroforestry )

Wanatani (agroforestry) adalah salah satu bentuk usaha konservasi tanah yang menggabungkan antara tanaman pohon-pohonan, atau tanaman tahunan dengan tanaman komoditas lain yang ditanam secara bersama-sama ataupun bergantian. Penggunaan tanaman tahunan mampu mengurangi erosi lebih baik daripada tanaman komoditas pertanian khususnya tanaman semusim.

Tanaman tahunan mempunyai luas penutupan daun yang relatif lebih besar dalam menahan energi kinetik air hujan, sehingga air yang sampai ke tanah dalam bentuk aliran batang (stemflow) dan aliran tembus (throughfall) tidak menghasilkan dampak erosi yang begitu besar. Sedangkan tanaman semusim mampu memberikan efek penutupan dan perlindungan tanah yang baik dari butiran hujan yang mempunyai energi perusak. Penggabungan keduanya diharapkan dapat memberi keuntungan ganda baik dari tanaman tahunan maupun dari tanaman semusim.

Penerapan wanatani pada lahan dengan lereng curam atau agak curam mampu mengurangi tingkat erosi dan memperbaiki kualitas tanah, dibandingkan apabila lahan tersebut gundul atau hanya ditanami tanaman semusim. Secara umum proporsi tanaman tahunan makin banyak pada lereng yang semakin curam demikian juga sebaliknya.

Tanaman semusim memerlukan pengolahan tanah dan pemeliharaan tanaman yang lebih intensif dibandingkan dengan tanaman tahunan. Pengolahan tanah pada tanaman semusim biasanya dilakukan dengan cara mencangkul, mengaduk tanah, maupun cara lain yang mengakibatkan hancurnya agregat tanah, sehingga tanah mudah tererosi. Semakin besar kelerengan suatu lahan, maka risiko erosi akibat pengolahan tanah juga semakin besar.

Penanaman tanaman tahunan tidak memerlukan pengolahan tanah secara intensif. Perakaran yang dalam dan penutupan tanah yang rapat mampu melindungi tanah dari erosi. Tanaman tahunan yang dipilih sebaiknya dari jenis yang dapat memberikan nilai tambah bagi petani dari hasil buah maupun kayunya. Selain dapat menghasilkan keuntungan dengan lebih cepat dan lebih besar, wanatani ini juga merupakan sistem yang sangat baik dalam mencegah erosi tanah.

Sistem wanatani telah lama dikenal di masyarakat Indonesia dan berkembang menjadi beberapa macam, di antaranya yaitu pertanaman sela, pertanaman lorong, talun hutan rakyat, kebun campuran, tanaman pelindung/multistrata, dan silvipastura.

1)        Pertanaman Sela

Pertanaman sela adalah pertanaman campuran antara tanaman tahunan dengan tanaman semusim. Sistem ini banyak dijumpai di daerah hutan atau kebun yang dekat dengan lokasi permukiman. Tanaman sela juga banyak diterapkan di daerah perkebunan, pekarangan rumah tangga maupun usaha pertanian tanaman tahunan lainnya.

Dari segi konservasi tanah, pertanaman sela bertujuan untuk meningkatkan intersepsi dan intensitas penutupan permukaan tanah terhadap terpaan butir-butir air hujan secara langsung sehingga memperkecil risiko tererosi. Sebelum kanopi tanaman tahunan menutupi tanah, lahan di antara tanaman tahunan tersebut digunakan untuk tanaman semusim.

Di beberapa wilayah hutan jati daerah Jawa Tengah, ketika pohon jati masih pendek dan belum terbentuk kanopi, sebagian lahannya ditanami dengan tanaman semusim berupa jagung, padi gogo, kedelai, kacang-kacangan, dan empon-empon seperti jahe (Zingiber officinale), temulawak (Curcuma xanthorrizha), kencur (Kaemtoria galanga), kunir (Curcuma longa), dan laos (Alpinia galanga). Pilihan teknik konservasi ini sangat baik untuk diterapkan oleh petani karena mampu memberikan nilai tambah bagi petani, mempertinggi intensitas penutupan lahan, membantu perawatan tanaman tahunan dan melindungi dari erosi.

Penanaman tanaman semusim bisa berkali-kali tergantung dari pertumbuhan tanaman tahunan. Sebagai tanaman pupuk hijau sebaiknya dipilih dari tanaman legum seperti Leucaena leucocephala, Glyricidia sepium, Cajanus cajan, Tephrosia candida, dan lain sebagainya. Jarak antara tanaman semusim dengan tanaman tahunan secara periodik dilebarkan (lahan tanaman semusim semakin sempit) dengan maksud untuk mencegah kompetisi hara, pengaruh allelopati dari tanaman tahunan, dan kontak penyakit.

2)      Pertanaman Lorong

Sistem pertanaman lorong atau alley cropping adalah suatu sistem dimana tanaman pagar pengontrol erosi berupa barisan tanaman yang ditanam rapat mengikuti garis kontur, sehingga membentuk lorong-lorong dan tanaman berada di antara tanaman pagar. Sistem ini merupakan teknik konservasi yang cukup murah dan efektif dalam mengendalikan erosi dan aliran permukaan serta mampu mempertahankan produktivitas tanah.

Penanaman tanaman pagar akan mengurangi 5-20% luas lahan efektif untuk budi daya tanaman sehingga untuk tanaman pagar dipilih dari jenis tanaman yang memenuhi persyaratan di bawah ini (Agus et al., 1999):

a)      Merupakan tanaman yang mampu mengembalikan unsure hara ke dalam tanah, misalnya tanaman penambat nitrogen (N2) dari udara.

b)      Menghasilkan banyak bahan hijauan.

c)      Tahan terhadap pemangkasan dan dapat tumbuh kembali secara cepat sesudah pemangkasan.

d)      Tingkat persaingan terhadap kebutuhan hara, air, sinar matahari dan ruang tumbuh dengan tanaman lorong tidak begitu tinggi.

e)      Tidak bersifat alelopati (mengeluarkan zat beracun) bagi tanaman utama.

f)        Sebaiknya mempunyai manfaat ganda seperti untuk pakan ternak, kayu bakar, dan penghasil buah sehingga mudah diadopsi petani.



Berbagai tanaman pagar yang umumnya adalah tanaman pohon telah diteliti dan diidentifikasi sifat-sifat pertumbuhannya. Banyak tanaman mempunyai pertumbuhan yang cepat seperti Kaliandra dan Glirisidia yang sangat efektif untuk digunakan sebagai tanaman pagar

3)      Talun hutan rakyat

Talun adalah lahan di luar wilayah permukiman penduduk yang ditanami tanaman tahunan yang dapat diambil kayu maupun buahnya. Sistem ini tidak memerlukan perawatan intensif dan hanya dibiarkan begitu saja sampai saatnya panen. Karena tumbuh sendiri secara spontan, maka jarak tanam sering tidak seragam, jenis tanaman sangat beragam dan kondisi umum lahan seperti hutan alami. Ditinjau dari segi konservasi tanah, talun hutan rakyat dengan kanopi yang rapat dapat mencegah erosi secara maksimal juga secara umum mempunyai fungsi seperti hutan.

4)      Kebun Campuran

Berbeda dengan talun hutan rakyat, kebun campuran lebih banyak dirawat. Tanaman yang ditanam adalah tanaman tahunan yang dimanfaatkan hasil buah, daun, dan kayunya. Kadang-kadang juga ditanam dengan tanaman semusim. Apabila proporsi tanaman semusim lebih besar daripada tanaman tahunan, maka lahan tersebut disebut tegalan. Kebun campuran ini mampu mencegah erosi dengan baik karena kondisi penutupan tanah yang rapat sehingga butiran air hujan tidak langsung mengenai permukaan tanah. Kerapatan tanaman juga mampu mengurangi laju aliran permukaan. Hasil tanaman lain di luar tanaman semusim mampu mengurangi risiko akibat gagal panen dan meningkatkan nilai tambah bagi petani.

5)      Tanaman Pelindung

Tanaman pelindung adalah tanaman tahunan yang ditanam di sela-sela tanaman pokok tahunan. Tanaman pelindung ini dimaksudkan untuk mengurangi intensitas penyinaran matahari, dan dapat melindungi tanaman pokok dari bahaya erosi terutama ketika tanaman pokok masih muda. Tanaman pelindung ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

·         Tanaman pelindung sejenis yang membentuk suatu system  wanatani sederhana (simple agroforestry). Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi dengan satu jenis tanaman pelindung misalnya: gamal (Gliricidia sepium), dadap (Erythrina subumbrans), lamtoro (Leucaena leucocephala) atau kayu manis (Cinnamomum burmanii).

·         Tanaman pelindung yang beraneka ragam dan membentuk wanatani kompleks (complex agroforestry atau system multistrata). Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi dengan dua atau lebih tanaman pelindung misalnya: kemiri (Aleurites muluccana), jengkol (Pithecellobium jiringa), petai (Perkia speciosa), kayu manis, dadap, lamtoro, gamal, durian (Durio zibethinus), alpukat (Persea americana), nangka (Artocarpus heterophyllus), cempedak (Artocarpus integer), dan lain sebagainya.

Tajuk tanaman yang bertingkat menyebabkan sistem ini menyerupai hutan, yang mana hanya sebagian kecil air yang langsung menerpa permukaan tanah. Produksi serasah yang banyak juga menjadi keuntungan tersendiri dari sistem ini.

6)      Silvipastura

Sistem silvipastura sebenarnya adalah bentuk lain dari system tumpang sari, tetapi yang ditanam di sela-sela tanaman tahunan bukan tanaman pangan melainkan tanaman pakan ternak seperti rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput raja (Penniseitum purpoides), dan lain-lain. Silvipastura umumnya berkembang di daerah yang mempunyai banyak hewan ruminansia. Hasil kotoran hewan ternak tersebut dapat dipergunakan sebagai pupuk kandang, sementara hasil hijauannya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Sistem ini dapat dipakai untuk mengembangkan peternakan sebagai komoditas unggulan di suatu daerah.

c.      Strip Rumput

Teknik konservasi dengan strip rumput (grass strip) biasanya menggunakan rumput yang didatangkan dari luar areal lahan, yang dikelola dan sengaja ditanam secara strip menurut garis kontur untuk mengurangi aliran permukaan dan sebagai sumber pakan ternak .

Untuk lahan yang mempunyai lereng di atas 20% dibutuhkan tindakan konservasi lainnya seperti alley cropping atau teras bangku. Rumput yang ditanam sebaiknya dipilih dari jenis yang berdaun vertical sehingga tidak menghalangi kebutuhan sinar matahari bagi tanaman pokok, tidak banyak membutuhkan ruangan untuk pertumbuhan vegetatifnya, mempunyai perakaran kuat dan dalam, cepat tumbuh, tidak menjadi pesaing terhadap kebutuhan hara tanaman pokok dan mampu memperbaiki sifat tanah.

d.      Mulsa

Dalam konteks umum, mulsa adalah bahan-bahan (sisa tanaman, serasah, sampah, plastik atau bahan-bahan lain) yang disebar atau menutup permukaan tanah untuk melindungi tanah dari kehilangan air melalui evaporasi. Mulsa juga dapat dimanfaatkan untuk melindungi permukan tanah dari pukulan langsung butiran hujan sehingga mengurangi terjadinya erosi percik (splash erosion), selain mengurangi laju dan volume limpasan permukaan (Suwardjo, 1981). Bahan mulsa yang sudah melapuk akan menambah kandungan bahan organik tanah dan hara.

Mulsa mampu menjaga stabilitas suhu tanah pada kondisi yang baik untuk aktivitas mikroorganisma. Relatif rendahnya evaporasi, berimplikasi pada stabilitas kelengasan tanah. Secara umum mulsa berperan dalam perbaikan sifat fisik tanah. Pemanfaatan mulsa di lahan pertanian juga dimaksudkan untuk menekan pertumbuhan gulma.

Mulsa yang diberikan sebaiknya berupa sisa tanaman yang tidak mudah terdekomposisi misalnya jerami padi dan jagung dengan takaran yang disarankan adalah 6 t/ha atau lebih. Bahan mulsa sebaiknya dari bahan yang mudah diperoleh seperti sisa tanaman pada areal lahan masing-masing petani sehingga dapat menghemat biaya, mempermudah pembuangan limbah panen sekaligus mempertinggi produktivitas lahan.



e.      Sistem pertanaman menurut strip

Penanaman menurut strip (strip cropping) adalah system pertanaman, dimana dalam satu bidang lahan ditanami tanaman dengan jarak tanam tertentu dan berselang-seling dengan jenistanaman lainnya searah kontur. Misalnya penanaman jagung dalam satu strip searah kontur dengan lebar strip 3-5 m atau 5-10 m tergantung kemiringan lahan, di lereng bawahnya ditanam kacang tanah dengan sistem sama dengan penanaman jagung, strip rumput atau tanaman penutup tanah yang lain.

Semakin curam lereng, maka strip yang dibuat akan semakin sempit sehingga jenis tanaman yang berselang-seling tampak lebih rapat. Sistem ini sangat efektif dalam mengurangi erosi hingga 70-75% (FAO, 1976) dan vegetasi yang ditanam (dari jenis legum) akan mampu memperbaiki sifat tanah walaupun terjadi pengurangan luas areal tanaman utama sekitar 30-50%.

Sistem ini biasa diterapkan di daerah dengan topografi berbukit sampai bergunung dan biasanya dikombinasikan dengan teknik konservasi lain seperti tanaman pagar, saluran pembuangan air, dan lain-lain. Penanaman menurut strip merupakan usaha pengaturan tanaman sehingga tidak memerlukan modal yang besar.



f.        Barisan Sisa Tanaman

Pada dasarnya, sistem barisan sisa tanaman (trash line) ini sama dengan sistem strip. Sistem ini adalah teknik konservasi tanah yang bersifat sementara dimana gulma/rumput/sisa tanaman yang disiangi ditumpuk berbaris. Untuk daerah berlereng biasanya berfungsi sebagai mulsa.

Ketersediaan bahan sisa tanaman harus cukup banyak sehingga penumpukannya membentuk struktur yang lebih kuat. Sisa tanaman tersebut lemah dalam menahan gaya erosi air dan akan cepat terdekomposisi sehingga mudah hanyut. Penggunaan kayu-kayu pancang diperlukan untuk memperkuat barisan sisa tanaman ini.


g.      Tanaman Penutup Tanah

Tanaman penutup tanah (cover crop) adalah tanaman yang biasa ditanam pada lahan kering dan dapat menutup seluruh permukaan tanah. Tanaman yang dipilih sebagai tanaman penutup tanah umumnya tanaman semusim/tahunan dari jenis legum yang mampu tumbuh dengan cepat, tahan kekeringan, dapat memperbaiki sifat tanah (fisik, kimia, dan biologi) dan menghasilkan umbi, buah, dan daun. Sebagaimana dilaporkan Lal (1978), tanaman penutup tanah mampu meningkatkan laju infiltrasi.

Tanaman penutup tanah dibedakan menjadi empat (Agus et al., 1999), yaitu:

1)        Tanaman penutup tanah rendah seperti centrosema (Centrosema pubescens), pueraria (Pueraria javanica) dan benguk (Mucuna sp.)

Tanaman penutup tanah rendah, dapat ditanam bersama tanaman pokok maupun menjelang tanaman pokok ditanam.

2)      Tanaman penutup tanah sedang seperti lamtoro (Leucaena leucocephala) dan gamal (Gliricidia sepium)

Tanaman penutup tanah sedang dan tinggi pada dasarnya seperti tanaman sela dimana tanaman pokok ditanam di sela-sela tanaman penutup tanah. Dapat juga tanaman pokok ditanam setelah tanaman penutup tanah dipanen.

3)      Tanaman penutup tanah tinggi seperti sengon (Periserianthes falcataria)

Tanaman penutup tanah dimaksudkan untuk menambah penghasilan petani dari hasil panennya, selain itu juga untuk memperbaiki sifat tanah karena mampu menambat N dari udara dan sisa tanamannya dapat dijadikan sumber bahan organik.

4)      Belukar lokal.



h.      Penyiangan Parsial

Penyiangan parsial merupakan teknik dimana lahan tidak disiangi seluruhnya yaitu dengan cara menyisakan sebagian rumput alami maupun tanaman penutup tanah (lebar sekitar 20-30 cm) sehingga di sekitar batang tanaman pokok akan bersih dari gulma.

Tanaman penutup tanah yang tidak disiangi akan berfungsi sebagai penahan erosi. Pada dasarnya teknik ini menyerupai strip rumput dimana vegetasi gulma mampu menahan aliran permukaan dan mengendapkan material terangkut. Hasil tanaman yang disiangi dikembalikan ke lahan atau ditumpuk sebagai barisan sisa tanaman sehingga dapat menambah bahan organik bagi tanah dan memperbaiki sifat tanah.

Teknik penyiangan yang termasuk dalam penyiangan parsial adalah:

1)        Strip tumbuhan alami (natural vegetative strips = NVS)

Pada dasarnya teknik ini adalah menyisakan sebagian lahan yang tidak disiangi dan tidak ditanami sehingga rumput alami tumbuh membentuk strip yang kurang lebih sejajar dengan garis kontur. Meskipun teknik ini efektif mengurangi erosi, tetapi teknik ini juga mengurangi areal produktif lahan pertanian sekitar 5-15%.

2)      Penyiangan sekeliling batang tanaman pokok

Teknik ini dapat diterapkan pada penyiangan dimana tanah tertutupi oleh gulma rumput maupun tanaman penutup tanah lain yang sengaja ditanam. Penyiangan dilakukan di sekeliling batang tanaman pokok dengan diameter sekitar 120 cm.

Penyiangan sekeliling batang tanaman pokok ini  dimaksudkan untuk mencegah hama dan penyakit menyerang tanaman pokok dengan tetap memelihara keberadaan tanaman penutup tanah.



i.        Penerapan Pola Tanam

Pola tanam adalah sistem pengaturan waktu tanam dan jenis tanaman sesuai dengan iklim, kesesuaian tanah dengan jenis tanaman, luas lahan, ketersediaan tenaga, modal, dan pemasaran. Pola tanam berfungsi meningkatkan intensitas penutupan tanah dan mengurangi terjadinya erosi.

Sistem ini bertujuan untuk mempertinggi intensitas penggunaan lahan, dan dapat mengurangi risiko gagal panen untuk salah satu tanaman, meningkatkan nilai tambah bagi petani dan juga termasuk tindakan pengendalian hama dan pengendalian erosi.

Dengan penerapan pertanaman majemuk, penutupan tanah akan lebih rapat sehingga mampu melindungi tanah dari pukulan air hujan secara langsung dan menahan aliran permukaan. Sistem pertanaman yang termasuk sistem pertanaman majemuk adalah sistem pergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari (inter cropping), dan tumpang gilir (relay cropping).

1)        Pergiliran tanaman

Pergiliran tanaman (crop rotation) adalah sistem bercocok tanam dimana sebidang lahan ditanami dengan beberapa jenis tanaman secara bergantian. Tujuan utama dari sistem ini adalah untuk memutuskan siklus hama dan penyakit tanaman dan untuk meragamkan hasil tanaman.

Dari segi konservasi tanah, pergiliran tanaman memberikan peluang untuk mempertahankan penutupan tanah, karena tanaman kedua ditanam setelah tanaman pertama dipanen. Demikian seterusnya, sehingga sepanjang tahun intensitas penutupan tanah senantiasa dipertahankan. Kondisi ini akan mengurangi risiko tanah tererosi akibat terpaan butir-butir air hujan dan aliran permukaan.

2)      Tumpang sari

Tumpang sari (intercropping) adalah sistem bercocok tanam dengan menggunakan dua atau lebih jenis tanaman yang ditanam serentak/bersamaan pada sebidang tanah. Sistem tumpang sari sebagian besar dikelola pada pertanian lahan kering yang hanya menggantungkan air hujan sebagai sumber air utama. Sistem tumpang sari adalah salah satu usaha konservasi tanah yang efektif dalam memanfaatkan luas lahan.

Tanaman yang ditanam dapat berupa jagung dengan kacang tanah, jagung dengan kedelai, dan sebagainya. Tanaman tersebut dapat berupa tanaman penambat nitrogen, berperakaran dalam maupun dangkal yang pada prinsipnya saling menguntungkan.

3)      Tumpang gilir

Tumpang gilir (relay cropping) adalah cara bercocok tanam dimana satu bidang lahan ditanami dengan dua atau lebih jenis tanaman dengan pengaturan waktu panen dan tanam. Pada system ini, tanaman kedua ditanam menjelang panen tanaman musim pertama. Contohnya adalah tumpang gilir antara tanaman jagung yang ditanam pada awal musim hujan dan kacang tanah yang ditanam beberapa minggu sebelum panen jagung.



2.      Metode Mekanik

Teknik konservasi tanah secara mekanis atau disebut juga sipil teknis adalah upaya menciptakan fisik lahan atau merekayasa bidang olah lahan pertanian hingga sesuai dengan prinsip konservasi tanah sekaligus konservasi air. Teknik ini meliputi: guludan, pembuatan teras gulud, teras bangku, teras individu, teras kredit, pematang kontur, teras kebun, barisan batu, dan teras batu (Agus et al., 1999).



a.    Sistem terasering.

Sistem terasering adalah perubahan bentuk terasering searah garis kontur, seperti teras gundul, teras bangku, teras tunggal, dan teras kredit.

b.    Sistem pematang kontur.

Adalah system pematang menurut kontur dengan fungsi utama menyimpan air.

c.     Sistem barisan batu.

Adalah dengan menyusun bebatuan dengan membentuk model ruang terbuka.

d.    Sistem teras bangku batu.

Adalah pembuatan terasan berbentuk bangku pada tanah.

e.     Sistem saluran pengelak.

Pembuatan saluran searah dengan garis kontur.

f.      Sistem saluran pembuangan akhir.

Adalah saluran yang dibuat searah lereng pada cekungan terendah dari topografi yang ada.



3.      Metode Kimiawi

Teknik konservasi tanah secara kimiawi adalah setiap penggunaan bahan-bahan kimia baik organik maupun anorganik, yang bertujuan untuk memperbaiki sifat tanah dan menekan laju erosi. Teknik ini jarang digunakan petani terutama karena keterbatasan modal, sulit pengadaannya serta hasilnya tidak jauh beda dengan penggunaan bahan-bahan alami.

Bahan kimiawi yang termasuk dalam kategori ini adalah pembenah tanah (soil conditioner) seperti polyvinil alcohol (PVA), urethanised (PVAu), sodium polyacrylate (SPA), polyacrilamide (PAM), vinylacetate maleic acid (VAMA) copolymer, polyurethane, polybutadiene (BUT), polysiloxane, natural rubber latex, dan asphalt (bitumen). Bahan-bahan ini diaplikasikan ke tanah dengan tujuan untuk memperbaiki struktur tanah melalui peningkatan stabilitas agregat tanah, sehingga tahan terhadap erosi.



C.   Hambatan Konservasi Tanah

Dalam pelaksanaan konservasi sering ditemui hambatan-hambatan yang dapat dibedakan menjadi :

1.        Hambatan fisik

Biasanya kita mendapatkan sumber daya dalam keadaan sedemikian rupa (sudah tertentu), misalnya tempatnya atau lokasinya, sehingga untuk menggunakannya manusia yang harus menyesuaikan. Misalnya untuk dapat menggunakan suatu sumber daya dengan baik maka kita harus membuat dulu dam, teras, menanam tanaman hutan dan menerapkan teknik teknik lain untuk mengubah keadaan alam.

2.      Hambatan ekonomi.

Hambatan ekonomi dapat berupa kurangnya modal untuk melaksanakan konservasi, kurangnya pengetahuan dan yang ketiga adalah tidak stabilnya perekonomian.

3.      Hambatan kelembagaan.

Banyak orang melaksanakan konservasi ini sebagai suatu kebiasaan atau adat istiadat, sehingga mereka kurang memperhatikan manfaatnya.Konservasi ini harus dilakukan secara terpadu oleh institusi yang dimiliki oleh negara agar ada arah yang jelas dan ini perlu dibentuk lembaga yang menangani konservasi sumberdaya di setiap daerah.

4.      Hambatan teknologi.

Penggunaan sumberdaya-sumberdaya akan tergantung antara lain oleh bentuk penyesuaian diri manusia dan teknologi.Hubungan sumberdaya-sumberdaya dengan macam dan tingkat teknologi sangat erat.Sebagai contoh tenaga matahari, yang dulu tidak banyak digunakan, dengan adanya perkembangan teknologi sekarang ini banyak digunakan.Hambatan teknologi ini dapat diatasi dengan cara meningkatkan kemampuan pegetahuan teknologi yang dapat dipelajari dari negara-negara yang sudah maju atau melakukan penelitian terhadap teknologi yang telah ada.



Selain itu Sekretariat Tim Pengendali Bantuan P&RP (2000) mencatat kendala utama penerapan teknologi konservasi sebagai berikut:

1.        Tingginya biaya serta lambatnya pengembalian investasi dari tindakan konservasi.

2.      Ketidakpastian penguasaan lahan.

3.      Petani tidak melihat keuntungan langsung dari penerapan teknik konservasi tanah.

Masalah konservasi dan penggunaan sumberdaya yang bijaksana berbeda-beda bagi masing-masing tipe sumberdaya. Untuk fund resources atau sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, konservasi dimaksudkan sebagai usaha mengembangkan penggunaan sumberdaya yang persediannya relatif tetap, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dalam waktu yang lebih panjang, hal ini melalui pengurangan tingkat konsumi atau melakukan penghematan. Untuk flow resources atau sumberdaya yang dapat diperbaharui, konservasi dimaksudkan sebagai usaha pengurangan pemborosan yang bersifat ekonomi, dan sekaligus memaksimumkan penggunaan yang dapat dilaksanakan secara ekonomis. Sebagai contoh adalah penggunaan sumberdaya-sumberdaya selain air, cara yang terbaik untuk membuat sumberdaya ini tetap ada atau bertahan dalam jangka waktu yang panjang adalah dengan cara menghemat atau kebijakan non use (tidak menggunakan sumberdaya) tersebut.



Sumber :

Subagyono, Kasdi, dkk.. 2003. Teknik Konservasi Tanah Secara Vegetatif. Bogor: Balai Penelitian Tanah.

Departemen Kehutanan. 2002. Rencana Aksi Pengembangan Hutan Tanaman/HTI dalam rangka Reboisasi.

http://www.dephut.go.id/ informasi/ph/rencana_aksi_pengembangan.htm.2005.

Sanders, David. 2002. SOIL CONSERVATION, in Land Use ,Land Cover and Soil Sciences, [Ed. Willy H. Verheye], in Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS), Developed under the Auspices of the UNESCO, Eolss Publishers, Oxford ,UK, [http://www.eolss.net]

Arsyad, Sitanala dan Ernan Rustiadi. 2008. Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan. Bogor: Yayasan Obor Indonesia.

Sutanto, Rachman. 2002. Penerapan Pertanian Organik:Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Yogyakarta: Kanisius.

Hamengku Buwono X. 2007. Merajut Kembali Keindonesiaan Kita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Arief, Arifin. 2001. Hutan & Kehutanan. Yogyakarta: Kanisius.